Belakangan ini ada beberapa orang yang nyinyir dan sedikit masygul ketika
ketua Umum GP Anshor secara bercanda menyebut Basuki Cahaya Purnama
sebagai Sunan Kalijodo. Mereka membikin mame dan status di medsos yang
isinya membuly Anshor, seolah-olah Anshor telah mencampur adukkan antara agama Islam dengan agama
lain karena menyematkan gelar "sunan" pada non muslim, China lagi. Ansor
juga dituduh telah menjual agama, menjadi anthek kaum kapitalis
non-muslim dan berbagai tuduhan keji lainnya.
Lama-lama kok makin
geli melihat ulah para kaum Islam Fashion ini (saya menyebut demikian
karena kelompok ini hanya menjadikan Islam tak lebih dari fashion, mode,
trend. Terlihat gaya dan megah tapi hanya klotokan, tak ada isi,
apalagi substansi). Sikap mereka kontradiktif, emosional dan kekanak-kanakan.
Coba bayangkan, selama ini kaum islam Fashion inikan tidak pernah mau
mengakui gelar-gelar agama yang tidak pake istilah Arab seperti kiai, sunan,
ajengan, tengku dan sebutan tradisional lainnya.
Karena mereka menganggap
itu sinkretik dan bid'ah. Tak ada dalam Qur'an dan Hadits. Mereka lebih suka
dengan sebutan ustadz, ulama', waliy, dan sebagainya, karena dianggap lebih Islami
Anehnya,
Ketika kata "sunan" yagn mengandung bid'ah tersebut disematkan
pada seseorang yang mereka benci, tiba-tiba mereka bereaksi keras. Pemberian
gelar sunan pada non muslim, seolah-seolah merupakan penyimpangan agama dan
pelecehan Islam atau mencampur adukkan ajaran Islam.
Agar kebodohan seperti
ini tidak berlanjut ada baiknya kita memahami makna kata "sunan" supaya
tahu penggunaan dan penempatannya secara tepat.
Kata "sunan" berasal
dari bahasa Jawa "susuhunan" yang berarti "yang terhormat" atau "yang
dimuliakan". Ada juga yg menyatakan dari bahasa China Jùnnà n (cunan) yg
berarti pejabat dari kasta Nan.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa kata
"Sunan" digunakan sebagai bentuk pemerintahan yang posisinya sama dengan
Kesultanan dan dikenal dengan "kasunanan". Jadi sebenarnya kata "sunan"
lebih dekat pada pengertian posisi jabatan daripada posisi keagamaan.
Karena pada saat itu seorang pejabat dianggap sebagai orang yg alim
agama maka kata "sunan" akhirnya menjadi berkonotasi agama seperti Sunan
Ngudung, Sunan Pandanaran dan semua Walisongo dipanggil dengan sebutan
Sunan, karena semua anggota Walisongo adalah pejabat negara Kesultanan
Demak. Oleh orang Jawa, kata "sunan" ini akhirnya digunakan sebagai kata
penghormatan untuk menyebut orang-orang yang dianggap terhormat, termasuk para
pejabat.
Jelas di sini terlihat bahwa kata "sunan" bukanlah
sebutan yang mencerminkan derajad atau maqam keagamaan yang terkait dg
kondisi spiritualitas atau kealiman seseorang di bidang agama Islam.
Tetapi hanya sebutan penghormatan yang terkait dengan masalah kultural dan
konstruksi sosial bukan teologis. Meskipun memiliki keterkiatan dengan soal
keislaman tapi itu hanya simbolik dan kultural
Masalah "sunan"
ini sama dengan kata "wali". Kalau kata "wali" memang berasal dari bahasa Arab
dan beberapa kali disebutkan dalam Al Qur'an. Kata Wali bermakna pelindung
atau kepercayaan, waliyullah berarti seseorang yang menjadi kepercayaan
Allah. Dari awal, kata "wali" memang berkonotasi religius atau terkait
dengan maqam keimanan dan kondisi religiusitas seseorang.
Namun dalam
perkembangannya kata "wali" mengalami transformasi makna yang berkonotasi
jabatan atau berfungsi perlindungan seperti kata "wali kota", "wali
murid", "wali santri" dan sejenisnya, kecuali Wali Band hehehehe.....
Jelas di sini orang yang ribut soal sebutan "sunan Kalijodo" kepada Ahok
adalah orang yang berpikir dangkal yang tidak memahami akar, makna dan fungsi
suatu kata baik secara sosiologis atau etimologis. Atau mereka
sebenarnya mengerti tetapi karena sudah terbakar kebencian dan apriori
akibat semangat keberagamaan yang salah kaprah akhirnya menggunakan simbol
dan logika agama yang dipaksakan untuk meributkan masalah ini.
Yang
bikin saya heran dan makin geli adalah banyak orang menggunakan ayat dan
dalil agama untuk membangun legitimasi politik. Tapi mereka diam saja
malah bangga, padahal yang justru beresiko terjadinya penyelewengan agama.
Tapi ketika Ansor menyematkan sebutan "sunan" yang hanya istilah
kultural, bukan ayat, bukan kitab suci mereka pada ribut. Semakin
beragama, semakin beriman mestinya makin berpikir dalam dan cerdas, lha
ini mengaku beragama dan beriman tapi kok makin dangkal dan
emosional....